Rabu, 16 Maret 2011

#8 Bunga Terakhir

-->
“Apaan sih lo? Pergi jauh sana?!” Rio membuang mukanya dariku.
“Maafin aku, Rio. Aku tau aku salah, tapi aku hanya ingin berteman aja dengan Dhika. Aku nggak ada maksud apa-apa. Maafin aku.” Aku tak tahu lagi harus bagaimana minta maaf pada Rio.
“Nggak usah ganggu gue lagi!” tersentak aku mendengar gertakannya. Dari perkataannya, aku tahu dia marah bukan main. Kubiarkan air mataku menetes tanpa ku hapus. 

“Rio, kalo ngomong sama cewek nggak usah kasar gitu, dong.!” Tiba-tiba Dhika datang dari belakangku dan menarik kerah Rio.
“Nggak usah sok jagoan loe, Dhik! Kalo loe suka ma Elisa, ambil aja. Lis, kita putus!” Rio mendorong Dhika dan pergi meninggalkan aku dan Dhika. Aku membantu Dhika berdiri dan mengajaknya ke taman.
“Elisa, maafin aku,ya. Aku nggak bermaksud merusak hubungan kalian. Seharusnya aku tak pernah ada di dalam hubungan kalian. Maafin aku.” Dhika menghapus air mataku dengan dengan lembutnya. Aku hanya memandang matanya.
“Bukan kamu yang salah. Rio aja yang nggak mau dengerin penjelasanku. Sudahlah, biarin aja. Lagian dia yang mutusin aku.”  Tanpa kusadari, Dhika menggenggam tanganku erat. Aku tak tahu maksudnya. Mungkinkah….
***
Dhika adalah sahabatku. Setiap saat dia selalu ada untukku. Tak ada air mata, hanya keceriaan yang selalu menemani.
“Huaah….enaknya ngapain, ya? Ngedit-ngedit foto aja ah..” kuambil headphone, memutar lagu-lagu kesukaanku. Kubuka folder yang berisi foto-fotoku. Tanpa sengaja aku membuka foto-fotoku bersama Dhika. Ku pandangi wajah ceria Dhika dan lucu saat bersamaku di taman, tepi pantai, di padang rumut yang hijau, di bawah pohon yang rindang, hanya kulihat senyum yang selalu merekah. Apalagi saat Dhika menuliskan namaku dan dia diatas pasir putih dan tangannya membentuk love diatas huruf ‘i’ namaku. Dhika berbeda dengan Rio. Mungkinkah aku menghadirkan Dhika dalam hatiku?
“Hayo…ngalamun ciapa tuh..? wuih, kamu foto-foto sama siapa nih? Ngganteng banget..cowokmu, ya?” Suara ibuku mengagetkanku.
“Hah, nggak kok, Bu. Cuma sahabatku. Dhika namanya.” Jelasku sambil malu-malu.
“Halah…sana jadiin pacarmu. Terus kenalin ke ibu, ya.” Ibuku terus menggodaku, mukaku langsung memerah.
“Aah,, ibu. Aku kan jadi malu. Hihihi.”
“Hmm. Ya udah, ibu lihat tivi dulu. Nanti kalo kamu udah selesai, cepetan maem, ya.” Sebelum berlalu, beliau mengecup dahiku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Aku tetap memandangi foto Dhika dan tulisan di pantai itu.
***
 “Elisa.” Dhika tiba-tiba saja meraih tanganku.
“Iya, ada apa?” tanyaku dengan hati yang berdebar-debar.
“Ehm, aku tak tau pasti tentang perasaan ini. Entah ini kau juga merasakan atau tidak. Selama kita menjadi sahabat, aku merasa itu semua lebih dari sahabat. Maukah kamu menjadi pemilik hatiku ini?”
Aku diam seketika. Tak menyangka Dhika mengungkapkan perasaannya pada ku.
“Jika aku menjadi pemilik hatimu, apa ang akan kamu lakukan demi dapatkan cintaku?” dengan kata-kata agak puitis lebay aku tersenyum.
“Aku mungkin bukanlah elang yang bisa mengajakmu terbang tinggi dengan sayapku, tapi aku akan menjadi merpati putih yang akan selalu setia menemanimu, menemanimu di setiap tangismu, akan kucabut duri luka yang telah menggores hatimu. Kubawakan mawar sebagai tanda cinta sejati akan ketulusan hatiku untuk mendapatkan cintamu. Edelweiss kan ku dapatkan untuk keabadian cinta. Kan ku buat kau selalu bahagia, tanpa ada derita di matamu. A promise, see a love in my eyes, a love just for you..”
Sekali lagi ia membuatku tak berdaya dengan kata-kata yang telah diucapnya. Dan benar, setelah ku tatap matanya sejenak, ku rasakan getaran yang tak biasa.
“Be the last for me. Sebuah harapan untukmu, sembuhkan sayapku yang patah dan ajak aku terbang meraih asa menembus langit biru.
“Kita jadian?” seakan ia tak percaya, dan aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum.
“Makasih, I will be a true love for you.” Ucap Dhika sambil mengecup keningku dan memelukku.
***
“Ayo kejar aku..!” Dhika terus mengejarku. Aku berlari di taman bunga yang sering aku hampiri.
“Hayo.. mau kemana..? tak tangkap kamu, nggak kulepasin, hehe.” Gelak tawanya membuatku tertawa lepas.
Tapi tiba-tiba pandanganku kabur, aku batuk-batuk dan aku terkejut, saat kulihat batukku mengeluarkan darah. Badanku lemas, aku duduk dengan lunglai.
“Elisa, kamu kenapa? Badanmu demam. Ayo kita ke rumah sakit.” Dengan paniknya Dhika mengangkatku ke mobil dan menuju rumah sakit.
Namun aku hanya diam dan gelap!
***
“Bagaimana keadaan Elisa, Dok?” Dengan gugupnya ia bertanya.
“Keaadaannya parah. Saya tak bisa menolong banyak. Kuatkan dirimu, Nak. peradangan pada paru-parunya sudah pada stadium empat. Berdoalah untuk keselamatanya.” Kata dokter itu sambil menepuk pundak Dhika.
“Elisa..” suara merdunya membangunkanku dari tidurku.
“Hmm, Dhika, izinkan aku memberikan puisi ini untukmu.” Ku berikan secarik kertas dari saku celanaku pada Dhika. Aku tersenyum dan perlahan menutup mata ketika Dhika membaca isi dari kertas itu.
Goresan Hati
Pejamkan mata sejenak,
Rasakan kehadiranQ dalam setiap nafas yg engkau hembuskan..
Sesaknya batin mengalirkan air mata,,,,
Bayangkan semua…..

Jika suatu ketika nanti aQ menghilang,,
Cari aQ dengan cinta yg masih tersisa di dlam hatimu,,,
Temukan aQ dengan senyummu,,
Tuk hidupkan mawar.Q yg telah layu..
Agar Q dapat hidup kembali meski warna.Q tlah pudar,,
dan kau akan meninggalkanku,,
dengan batang dan daun.Q yg gugur....
aQ tak tau apa ingin.nya hatiQ...
Rasa sedih trus menghampiri tnpa sebabnya pasti...
hanya mendengar lagu-lagu pelampiasan akan keburukan CINTA...
aQ tak bisa menyalahnya.....
Berikan aQ sehembus nafas..
tuk bisa menerima cinta,,
tanpa hati yang retak…
Raga yang tak dapat Q ingkari,,,,
Dan mungkin tak dapat bernafas di suatu ketika nanti....
Q ingin kau tersenyum tanpa air mata di benakmu..
Relakan aQ tuk lepas...
Tanpa ada kesedihan....
Sebait puisi yang akan terasa sakit..
Lagu-lagu yang menusuk hati....
memaksa tuk menangis,,,
penuh tnya dalam pikiran,apa salahku sebenarnya....
memaksa keadaan,, tuk sudahi perkara ini...
perkara tanpa sebab...
Menyerah,, pasrah pun akan terlintas...
haruskah aku,,,,
abadikan goresan ini....
membuka luka yang tlah lama tertutup,,,,
dan mungkin luka itu kan meradang,,,
sampai Q tak bisa merasakan sakitnya...
Bawa aQ pada taman bunga,,,
di bawah pohon rindang,,,
tersenyumlah...di saat terakhir.Q...
saat kau hanya dapat melihat wajah.Q dalam angan bayang.mu...
ucapkan pada bunga mawar yg kau bawa...
"Temani hatiQ yang terkubur di bawah pohon ini"
layangkan 'BUNGA TERAKHIR'.mu di depan nama.Q yg tlah tertulis....
di batu nisan...

Setelah membaca, Dhika tak kuasa menahan air mata saat melihat aku telah tiada. Dia memberi kabar kepada keluargaku.
Pada saat pemakaman, Dhika hanya sendirian. Semua keluargaku dan orang-orang sudah pulang. Dia membawa setangkai mawar seperti puisi kemarin.
“Temani hatiku yang terkubur di bawah pohon ini.” Dhika menanamkan bunga mawar di dekat papan namaku. Air mata yang menetes di atas kelopak mawar tak dihiraukannya. Sebelum Dhika meninggalkan kediamanku, ia mencium batu nisanku.
“Sesungguhnya aku belum rela untuk melepasmu, merpatiku. Masih ingin mengajakmu tuk mengarungi indahnya dunia ini. Tapi tak ada daya untuk itu semua. Kau kan selalu terindah selamanya. Dan kau akan selalu pemilik hatiku. Tak kan ada yang bisa menggoyahkan perasaan cintaku kepadamu. Aku akan selalu memegang janji setiaku padamu, sekali pun kau telah tiada.”
Senja kala itu menjadi saksi bisu melihat kegalauan cinta yang abadi.

~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar