Senin, 07 Maret 2011

#6 Cinta Untukmu

-->
“Liburan besok kamu mau kemana?” tanya Anto penasaran.
“Nggak tau. Hehehe.”jawab Selvi singkat dengan memegang kepalanya.
“Kalau aku ajak ke danau, mau nggak?”Anto menatap tajam mata Selvi.
“Oke dech. Tapi jemput jam 9 pagi, yach?”pinta Selvi sambil menghabiskan orange juice di depannya.
“Oke dech. Pulang yuk.” Anto menarik tangan kanan Selvi mengajaknya pulang.
“Iya,iya. Sabar dunk.” Selvi menggerutu.
***

Sesampainya di rumah Selvi..
Selvi berjalan menuju kamarnya. Dia langsung merebahkan badannya dengan pakaian kemejanya. Dia merasakan ada hal yang aneh dalam tubuhnya. Rasa sakit tiba-tiba menyerang kepalanya. Nafasnya menjadi sesak. Tapi, dia berusaha tenang dan menganggap penyakit biasa. Dia mengambil bantal love dari Anto, dan tidur.
Sejak saat itu, Selvi menjadi pendiam, jarang bicara dengan orang tuanya, susah makan. Hingga suatu saat, ibunya heran melihat sikap Selvi dan kondisi Selvi yang akhir-akhir ini terlihat pucat dan lesu.
“Selvi, kamu kenapa, Nak? kok, ibu lihat, kamu sering diem. Muka kamu juga pucat. Kamu sakit?” tanya Ibunya denga memegang halus dahi Selvi.
“Nggak kok, Bu. Aku nggak sakit. Cuma pusing aja.” Jawab Selvi sambil terus memegang kepalanya.
“Tapi badanmu panas banget. Ibu telfon dokter, ya? Kamu tunggu disini.” Ibu Selvi pergi ke ruang keluarga menelfon dokter langganannya.
Selvi hanya tiduran di kasurnya, terkulai lemas tak berdaya. Sakit di kepalanya tak kunjung hilang. Tapi, tak lama kemudian, dokter pun datang.
“Coba saya periksa detak jantung dek Selvi.” Ucap dokter separuh baya sambil memasang stetoscopenya.
“Nafas adek sesak, ya? Sudah berapa lama mengalami pusing?”
“Heem. Sudah seminggu, dokter.” Selvi hanya menatap jam dinding di depannya.
“Coba besok, adek cek laborat di rumah sakit, ya. Ini saya beri obat penenang dulu. Diminum rutin, ya.” Si dokter memberi obat kepada Selvi.
***
Keesokan harinya, Selvi ditemani dengan ibunya pergi ke rumah sakit. Mereka menunggu panggilan dari suster di ruang tunggu pasien. Tak lama kemudian, nama Selvi pun dipanggil. Selvi dan ibunya masuk menemui dokter di ruangan praktek si dokter.
“Dok, kemarin anak saya sudah saya periksakan ke dokter langganan saya. Ini surat rujukannya.”Si ibu menyodorkan secarik kertas kepada sang dokter.
“Mari ikut saya. Saya akan memeriksa anda.” Ajak dokter pada Selvi.
Lima menit kemudian setelah pemerikasaan, Selvi dipersilahkan duduk kembali disamping ibunya.
“Saya harap, ibu dan adek, tidak shock mendengar hasil pemeriksaan tadi. Adek ini mengidap penyakit vertigo dan radang paru-paru. Sebaiknya adek menjaga kesehatan adek dengan baik…” nasihat dokter itu sangat membebani pikiran Selvi.
Bagaimana dengan Anto?? Kalau dia tahu aku punya penyakit seperti ini. Dia pasti sedih banget. Pasti dia akan khawatir dengan keadaanku. Lebih baik, Anto tak perlu tahu tentang penyakitku ini. Aku tak ingin membebani pikirannya. Aku hanya ingin membuatnya bahagia. Tuhan, jangan beri tahu dia tentang keadaanku. Aku ingin dia tersenyum.
***
Hari ini, dia dan Anto akan pergi ke danau pukul sembilan pagi. Tapi, sesampainya di sana, Selvi hanya diam. Hari-hari Selvi menjadi tak tenang. Semua kata-kata dokter kemarin, selalu membayangi pikirannya.
“Bebh bebh, mau ice-cream, nggak? Magnum lho..” Anto mengayun-ayunkan ice-cream Magnum di depan wajah Selvi.
Sorry, aku nggak napsu makan.” Selvi mengalihkan pandangannya, melihat angsa-angsa putih berenang kesana kemari.
“Widdih.. nggak biasanya, nich. Biasanya aja, kalau denger Magnum, langsung minta dibeliin. Ehm, kenapa siy, bebh? Lagi nggak mood pergi, ya?” Dengan wajah memelas, Anto menatap wajah Selvi yang agak pucat.
“Nggak papa kok. Mana Magnum-ku.” Sambil menyambar Magnum dari tangan Anto. Dan membiarkan Anto bingung tak karuan melihat sikap Selvi yang agak aneh.
“Haiah. Tadi nggak mau.. malah nyamber. Hehehe.” Melihat Selvi makan ice-cream, Anto hanya bisa tersenyum.
***
“Selvi…..!” dari kejauhan, Selvi melihat seorang gadis berambut panjang, berlari memanggil namanya.
“Riana..! Hai, gimana kabarmu sekarang?” tak disangka, Riana adalah sahabat yang paling disayangi Selvi. Mereka pun saling berpelukan melepas rindu.
“Baik. Kamu gimana? Baik-baik aja kan? Haduh, aku kangen banget niy ma kamu.” Riana mengusap-usap rambut Selvi sambil tersenyum.
“Heem. Aku baik-baik aja kok. Ow ya, kenalin, ini bebh bebhku, Anto. Bebh, ini sahabatku, Riana.” Selvi memperkenalkan satu dengan yang lain.
“Riana.” Dengan baby facenya, dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Anto.” Senyum tak biasa pun muncul di wajah Anto.
“Eh, ke KFC yuk? Aku yang traktir.” Ajak Selvi sambil menggandeng Riana dan Anto.
***
Tiga bulan telah mereka lalui dengan canda tawa kebahagiaan bertiga. Tapi tetap saja, rasa takut akan penyakit Selvi tak juga hilang. Riana dan Anto juga tak tahu akan hal itu. Saat mereka berlibur di pantai, setelah lelah bermain seharian, Selvi memutuskan untuk beristirahat sejenak dibawah gazebo. Selvi melihat Anto dan Riana bermain di tepi pantai dengan senangnya. Seakan tak ada lelah yang terlintas dipikiran mereka. Hanya ada kebahagiaan diantara mereka.
“Hmm, aku senang Anto bisa tertawa lepas dengan Riana. Mungkin dia akan lebih bahagia dengan Riana.” Selvi terus memegang dadanya. Mengatur nafasnya yang sesak. Terselip senyuman didalam hatinya. Tapi, pandangannya berubah menjadi gelap. Tak sadarkan diri.
Anto merasakan ada yang hilang. Dan dia mulai mencari Selvi. Dan Anto sangat terkejut, ketika melihat Selvi terbaring lemas di atas gazebo.
“Selvi..! kamu kenapa, Bebh?” dengan sekuat tenaga, Anto membopong Selvi, dan berlari ke mobil Anto. Riana segera mengemasi barang-barang yang tertinggal dan segera menyusul Anto dan Selvi.
Anto menekan gas mobilnya dan melaju kencang menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Selvi langsung masuk ke ruang Unit Gawat Darurat. Dengan perasaan cemas, Anto terus berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang di mana Selvi diperiksa.
“Duduk sini, lho. Nggak capek kamu, mondar-mandir mulu? Selvi akan baik-baik aja kok.” Tangan Riana mengelus pundak Anto, memberi sedikit ketenangan.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan tersebut.
“Dokter, bagaimana keadaan Selvi sekarang?” Anto segera bertanya kepada dokter.
“Dia kritis. Radang paru-paru yang di derita Selvi, sudah parah. Kami sarankan, agar dia dirawat disini untuk beberapa hari. Kami sudah pasang ventilator untuk membantu pernafsannya. Sekarang dia koma.” Sang dokter menjelaskan keadaan Selvi. Anto terlihat sedih.
“Kami boleh menjenguknya, kan, Dok?” tanya Anto dengan raut wajah pasrah.
“Boleh. Buat dia siuman, Nak. Mari.”pesan dokter sambil berlalu.
Anto segera masuk ke kamar rawat Selvi. Perasaan sedih, takut, campur menjadi satu. Anto tak ingin kehilangan Selvi.
***
Dua hari berlalu. Selvi belum juga membuka matanya. Namun, Anto dan Riana selalu berada disamping Selvi. Anto hanya bisa melihat wajah Selvi dengan ventilator menutupi bibir merah Selvi. Wajah putih pucat, masih terlihat. Anto menggenggam erat tangan Selvi.
“Udahlah, Anto. Jangan sedih terus. Kita berdo’a aja. Semoga Selvi segera siuman dari koma.” Kata Riana sambil menggenggam tangan Anto.
Ya Tuhan, aku menyayangi Selvi. Jangan ambil dia, sebelum aku melihat senyumnya. Izinkan aku untuk menatap matanya. Bukakan matanya, Ya Tuhan.
Anto berdo’a dalam hati. Dalam hati dia menangis. Tapi, tanpa sadar, tangan Selvi mulai bergerak, menggenggam tangan Anto kembali.
“Selvi. Kamu sadar. Terima kasih, Tuhan. Bebh, kamu nggak papa, kan?” Anto tak mampu menahan rasa bahagia setelah melihat Selvi bangun dari koma.
Dengan lemas, Selvi membuka ventilator yang menutupi hidung dan bibirnya.
“Riana, aku pengen pesen ma kamu. Tolong jagain bebh bebhku ya. Aku liat, kalian pantes banget kok. Riana, tolong buat dia bahagia, ya. Bebh, maafin aku, aku nggak sanggup nahan sakitku. Aku udah nggak mampu buat kamu seneng. Kamu mau kan janji ma aku? Kamu akan terus bersama Riana?” Selvi menatap sayu mata Anto.
“Tapi aku nggak mau kamu ninggalin aku.”
“Percaya.” Itulah kata terakhir yang diucapkan Selvi kepada Anto. Senyumnya yang tak pernah pudar, perlahan menutup mata.
Suara tangis pun pecah. Anto tak bisa menerima kenyataan itu. Selvi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Meski Riana menjadi bayang-bayang Selvi, itu takkan menggantikan Selvi di hati Anto. Walau Selvi telah mencari cinta lain untuknya.
~Selesai~

3 komentar: